Islam dan Teknologi
Mukaddimah
Manusia adalah makhluk yang unik. Ia tahu bahwa ia tahu dan ia tahu bahwa ia tidak tahu. Ia mengenal dunia sekelilingnya dan lebih dari itu ia mengenal dirinya sendiri. Manusia
memiliki akal budi, rasa, karsa, dan daya cipta yang digunakan untuk
memahami eksistensinya, dari mana sesungguhnya ia berasal, dimana berada
dan akan kemana perginya. Pertanyaan-pertanyaan selalu muncul, akan
tetapi pertanyaan itu belum pernah berhasil dijawab secara tuntas.
Manusia tetap saja diliputi ketidaktahuan. Demikianlah sesungguhnya manusia, siapa saja, eksis dalam suasana yang diliputi dengan pertanyaan–pertanyaan. Manusia eksis di dalam dan pada dunia filsafat dan filsafat hidup subur di dalam aktualisasi manusia.
Berdasarkan rasa, karsa
dan daya cipta yang dimilikinya manusia mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK). Namun, perkembangan teknologi yang luar biasa
menyebabkan manusia “lupa diri”. Manusia menjadi
individual, egoistik dan eksploitatif, baik terhadap diri sendiri,
sesamanya, masyarakatnya, alam lingkungannya, bahkan terhadap Tuhan Sang
Penciptanya sendiri. Karena itulah filsafat ilmu pengetahuan dihadirkan ditengah-tengah keaneka ragaman IPTEK untuk meluruskan jalan dan menepatkan fungsinya bagi hidup dan kehidupan manusia di dunia ini.
Kemajuan sains dan teknologi telah memberikan kemudahan-kemudahan
dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia sekaligus merupakan sarana bagi
kesempurnaan manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Allah telah
mengaruniakan anugerah kenikmatan kepada manusia yang bersifat saling
melengkapi yaitu anugerah agama dan kenikmatan sains teknologi. Agama dan Ilmu pengetahuan-teknologi merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ilmu adalah sumber teknologi yang mampu memberikan kemungkinan munculnya berbagai penemuan rekayasa dan ide-ide. Adapun teknologi adalah terapan atau aplikasi dari ilmu yang dapat ditunjukkan dalam hasil nyata yang lebih canggih dan dapat mendorong manusia untuk berkembang lebih maju lagi. Namun, terlepas dari semua itu, perkembangan teknologi tidak boleh melepaskan diri dari nilai-nilai agama Islam. Sebagaimana adigum yang dibangun oleh Fisikawan besar, Albert Einstin yang menyatakan: “Agama tanpa ilmu akan pincang, sedangkan ilmu tanpa agama akan Buta”.
Sebagai umat Islam kita harus menyadari bahwa dasar-dasar filosofis untuk mengembangkan ilmu dan teknologi itu bisa dikaji dan digali dalam Alquran sebab kitab suci ini banyak mengupas keterangan-keterangan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat 80 yang artinya “Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu guna memelihara diri dalam peperanganmu.” Dari keterangan itu jelas sekali bahwa manusia dituntut untuk berbuat sesuatu dengan sarana teknologi. Sehingga tidak mengherankan jika abad ke-7 M telah banyak lahir pemikir Islam yang tangguh produktif dan inovatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kepeloporan dan keunggulan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan sudah dimulai pada abad itu. Tetapi sangat disayangkan bahwa kemajuan-kemajuan itu tidak sempat ditindaklanjuti dengan sebaik-baiknya sehingga tanpa sadar umat Islam akhirnya melepaskan kepeloporannya. Lalu bangsa Barat dengan mudah mengambil dan menransfer ilmu dan teknologi yang dimiliki dunia Islam dan dengan mudah pula mereka membuat licik yaitu membelenggu para pemikir Islam sehinggu sampai saat ini bangsa Baratlah yang menjadi pelopor dan pengendali ilmu pengetahuan dan teknologi.
SEJARAH PENERAPAN TEKNOLOGI DALAM PERADABAN ISLAM
Di era keemasan Islam, para cendekiawan
Muslim telah mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersifat teknologis sebagai
berikut; ilmu jenis-jenis bangunan, ilmu optik, ilmu pembakaran cermin,
ilmu tentang pusat gravitasi, ilmu pengukuran dan pemetaan, ilmu tentang
sungai dan kanal, ilmu jembatan, ilmu tentang mesin kerek, ilmu
tentang mesin-mesin militer serta ilmu pencarian sumber air tersembunyi.
Para penguasa dan masyarakat di zaman kekhalifahan Islam menempatkan para rekayasawan (engineer) dalam posisi yang tinggi dan terhormat. Mereka diberi gelar muhandis. Banyak di antara ilmuwan Muslim, pada masa itu, yang juga merangkap sebagai rekayasawan.
Al-Kindi, misalnya, selain dikenal sebagai fisikawan dan ahli metalurgi
adalah seorang rekayasawan. Selain itu, al-Razi juga yang populer
sebagai seorang ahli kimia juga berperan sebagai rekayasawan. Al-Biruni
yang masyhur sebagai seorang astronom dan fisikawan juga seorang
rekayasawan.
Selain itu, peradaban Islam juga telah
mengenal ilmu navigasi, ilmu tentang jam, ilmu tentang timbangan dan
pengkuran serta ilmu tentang alat-alat genial. Menurut al-Hassan, teknik
mesin dan teknik sipil yang digolongkan sebagai ilmu matematika, bukan
satu-satunya subyek teknologis yang dikelompokkan sebagai sains. Para
ilmuwan Muslim memberi perhatian pada semua jenis pengetahuan praktis,
mengklasifikasi ilmu-ilmu terapan dan subyek-subyek teknologis
berdampingan dengan telaah-telaah teoritis,” ungkap Ahmad Y al-Hassan
dan Donald R Hill dalam Islamic Technology: An Illustrated History.
Sejumlah kitab dan risalah yang ditulis para ilmuwan Muslim tercatat
telah mengklasifikasi ilmu-ilmu terapan dan teknologis. Menurut
al-Hassan, hal itu dapat dilihat dalam sederet buku atau kitab karya
cendikiawan Muslim, seperti; Mafatih al-Ulum, karya al-Khuwarizmi; Ihsa al-Ulum (Penghitungan Ilmu-ilmu) karya al-Farabi, Kitab al-Najat, (Buku Penyelamatan) karya Ibnu Sina dan buku-buku lainnya.
Para rekayasawan Muslim telah berhasil
membangun sederet karya besar dalam bidang teknik sipil berupa;
bendungan, jembatan, penerangan jalan umum, irigasi, hingga gedung
pencakar langit. Sejarah membuktikan, di era keemasannya, peradaban
Islam telah mampu membangun bendungan jembatan (bridge dam). Bendung
jembatan itu digunakan untuk menggerakkan roda air yang bekerja dengan
mekanisme peningkatan air. Bendungan jembatan pertama dibangun di
Dezful, Iran.
Bendung jembatan itu mampu menggelontorkan 50
kubik air untuk menyuplai kebutuhan masyarakat Muslim di kota itu.
Setelah muncul di Dezful, Iran bendung jembatan juga muncul di kota-kota
lainnya di dunia Islam. Sehingga, masyarakat Muslim pada masa itu tidak
mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Selain itu, di era kekhalifahan para insinyur
Muslim juga sudah mampu membangun bendungan pengatur air diversion dam.
Bendungan ini digunakan untuk mengatur atau mengalihkan arus air.
Bendungan pengatur air itu pertama kali dibangun insinyur Muslim di
Sungai Uzaym yang terletak di Jabal Hamrin, Irak. Setelah itu, bendungan
semacam itu pun banyak dibangun di kota dan negeri lain di dunia Islam.
Pencapaian lainnya yang
berhasil ditorehkan insinyur Islam dalam bidang teknik sipil adalah
pembangunan penerangan jalan umum. Lampu penerangan jalan umum pertama
kali dibangun oleh kekhalifahan Islam, khususnya di Cordoba. Pada masa
kejayaannya, pada malam hari jalan-jalan yang mulus di kota peradaban
Muslim yang berada di benua Eropa itu bertaburkan cahaya.
Selain dikenal bertabur
cahaya di waktu malam, kota-kota peradaban Islam pun dikenal sangat
bersih. Ternyata, pada masa itu para insinyur Muslim sudah mampu
menciptakan sarana pengumpul sampah, berupa kontainer. Sesuatu yang
belum pernah ada dalam peradaban manusia sebelumnya.
CARA PANDANG BARAT TERHADAP TEKNOLOGI
Menurut catatan sejarah, bangsa Barat berhasil mengambil khazanah
ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan lebih dahulu oleh kaum
muslimin. Kemudian mereka mengembangkannya di atas paham materialisme
tanpa mengindahkan lagi nilai-nilai Islam sehingga terjadilah perubahan
total sampai akhirnya terlepas dari sendi-sendi kebenaran. Para ilmuwan Barat dari abad ke abad kian mendewa-dewakan rasionalitas bahkan telah menuhankan ilmu dan teknologi sebagai kekuatan hidupnya. Mereka menyangka bahwa dengan iptek mereka pasti bisa mencapai apa saja yang ada di bumi ini dan merasa dirinya kuasa pula menundukkan langit bahkan mengira akan dapat menundukkan segala yang ada di bumi dn langit.
Tokoh-tokoh mereka merasa mempunyai hak untuk memaksakan ilmu pengetahuan dan teknologinya itu kepada semua yang ada di bumi agar mereka bisa mendikte dan memberi keputusan terhadap segala permasalahan di dunia. Sebenarnya masyarakat Barat itu patut dikasihani karena akibat kesombongannya itu mereka lupa bahwa manusia betapapun tingg kepandaiannya hanya bisa mengetahui kulit luar atau hal-hal yang lahiriah saja dari kehidupan semesta alam.
Mereka lupa bahwasanya manusia hanya diberi ilmu pengetahuan yang sedikit dari kemahaluasan ilmu Allah. Di atas orang pintar ada lagi yang lebih pintar. Dan sungguh Allah SWT benci kepada orang yang hanya tahu tentang dunia tetapi bodoh tentang kebenaran yang ada di dalamnya.
PERSPEKTIF ISLAM TERHADAP TEKNOLOGI
Peradaban Islam sangat berbeda dengan Yunani,
Romawi dan Byzantium dalam memandang teknologi. Para cendekiawan
Muslim di era kekhalifahan menganggap teknologi sebagai sebuah cabang
ilmu pengetahuan yang sah. Fakta itu terungkap berdasarkan pengamatan
para sejarawan sains Barat di era modern terhadap sejarah sains di Abad
Pertengahan.
Demikian pula ajaran Islam ia tidak akan
bertentangan dengan teori-teori pemikiran modern yang teratur dan lurus
dan analisa-analisa yang teliti dan obyekitf. Dalam pandangan Islam
menurut hukum asalnya segala sesuatu itu adalah mubah termasuk segala
apa yang disajikan oleh berbagai peradaban baik yang lama ataupun yang
baru. Semua itu sebagaimana diajarkan oleh Islam tidak ada yang hukumnya
haram kecuali jika terdapat nash atau dalil yang tegas dan pasti
mengherankannya. Bukanlah Alquran sendiri telah menegaskan bahwa agama
Islam bukanlah agma yang sempit? Allah SWT telah berfirman yang artinya “Di sekali-kali tidak menjadikan kamu dalam agama suatu kesempitan.” .
Kemajuan teknologi modern yang begitu pesat telah memasyarakatkan
produk-produk teknologi canggih seperti Radio, televisi, internet,
alat-alat komunikasi dan barang-barang mewah lainnya serta menawarkan
aneka jenis hiburan bagi tiap orang tua, kaum muda, atau anak-anak.
Namun tentunya alat-alat itu tidak bertanggung jawab atas apa yang
diakibatkannya. Justru di atas pundak manusianyalah terletak semua
tanggung jawab itu. Sebab adanya pelbagai media informasi dan alat-alat
canggih yang dimiliki dunia saat ini dapat berbuat apa saja kiranya
faktor manusianyalah yang menentukan operasionalnya. Adakalanya menjadi
manfaat yaitu manakala manusia menggunakan dengan baik dan tepat. Tetapi
dapat pula mendatangkan dosa dan malapetaka manakala manusia
menggunakannya untuk mengumbar hawa nafsu dan kesenangan semata.
Kemajuan teknologi dalam dunia kedokteran
juga patut untuk kita apresisai secara kritis; proses cloning (bayi
tabung) misalnya, telah mendapat tanggapan beragam dari para ulama; Sebagian kelompok agamawan menolak fertilisasi in vitro pada manusia karena mereka meyakini bahwa kegiatan tersebut sama artinya mempermainkan Tuhan yang merupakan Sang Pencipta. Juga
banyak kalangan menganggap bahwa pengklonan manusia secara utuh tidak
bisa dilakukan sebab ini dapat dianggap sebagai “intervensi” karya
Ilahi.
Sebaliknya, Sheikh Mohammad
Hussein Fadlallah, seorang pemandu spiritual muslim fundamentalis dari
Lebanon berpendapat, adalah salah jika menganggap kloning adalah suatu
intervensi karya Ilahi. Peneliti dianggapnya tidak menciptakan sesuatu yang baru. Mereka
hanya menemukan suatu hukum yang baru bagi ormanisme, sama seperti
ketika mereka menemukan fertilisasi in vitro dan transplantasi organ (http://www.religioustolerance-.org/-clo_reac.htm).
Professor Abdulaziz Sachedina dari Universitas Virginia mengemukakan bahwa Allah adalah kreator terbaik. Manusia dapat saja melakukan intervensi dalam pekerjaan alami, termasuk pada awal perkembangan embrio untuk meningkatkan
kesehatan atau embrio splitting untuk meningkatkan peluang terjadinya
kehamilan, namun perlu diingat, Allahlah Sang pemberi hidup (Sachedina,
2001).
Di sinilah Islam sebagai agama paripurna yang mampu memberikan
petunjuk bagi manusia. Ini semua tidak lepas dari karakter agama Islam
sebagai rahmatan lil ‘alamin. Memang dalam abad teknologi dan
era globalisasi ini umat Islam hendaklah melakukan langkah-langkah
strategis dengan meningkatkan pembinaan sumber daya manusia guna
mewujudkan kualitas iman dan takwa serta tidak ketinggalan di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi. Khatimah
Peradaban modern adalah hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang gemilang yang telah dicapai oleh manusia setelah diadakan penelitian yang tekun dan eksperimen yang mahal yang telah dilakukan selama berabad-abad. Maka sudah sepantasnya kalau kemudian manusia menggunakan penemuan-penemuannya itu guna meningkatkan taraf hidupnya. Kemajuan teknologi secara umum telah banyak dinikmati oleh masyarakat luas dgn cara yang belum pernah dirasakan bahkan oleh para raja dahulu kala.
Namun seiring dengan upaya meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi kita pun harus jeli menentukan pilihan ini. Untuk apakah semua kemajuan itu? Apakah sekadar untuk menuruti keinginan-keinginan syahwat lalu tenggelam dalam kemewahan dunia hingga melupakan akhirat dan menjadi pengikut-pengikut setan? Ataukah sebaliknya semua ilmu dan kemajuan itu dicari untuk menegakkan syariat Allah guna memakmurkan bumi dan menegakkan keadilan seperti yang dikehendaki Allah serta untuk meluruskan kehidupan dengan berlandaskan pada kaidah moral Islam?
Ada banyak tantangan yang harus kita jawab dengan pemikiran yang berwawasan jauh ke depan. Namun terlepas dari problema dan kekhawatiran-kekhawatiran sebagaimana diuraikan di atas kita sebagai umat Islam harus selalu optimis dan tetap bersyukur kepada Allah SWT. Karena sungguhpun perubahan sosial dan tata nilai kehidupan yang dibawa oleh arus westernisasi dan sekularisasi terus-menerus menimpa dan menyerang masyarakat Islam tetapi kesadaran umat Islam untuk membendung dampak-dampak negatif dari budaya Barat itu ternyata masih cukup tinggi meskipun hanya segolongan kecil umat yaitu mereka yang tetap teguh untuk menegakkan nilai-nilai Islam.[] Wallahu ‘alam bisshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar